Konten [Tampil]
Setiap keluarga tentu mendambakan untuk memiliki hunian sendiri. Begitu juga dengan kami, terhitung 7 tahun sejak awal menikah kami baru memiliki rumah sendiri. Bukan langkah yang mudah, mengingat suami hanyalah lulusan SMA yang bekerja di instansi pemerintah, sedangkan saya hanya seorang ibu rumah tangga.
Ditambah lagi 4 tahun pertama pernikahan kami, sudah dianugerahi 3 orang anak. Mau tak mau kebutuhan akan susu formula dan popok sekali pakai mendominasi gaji suami.
Kami tak mengeluh, walaupun cita cita memiliki rumah seakan hanya mimpi yang rasanya sulit sekali terwujud.
Tak hanya sekali dua kali kami mencoba menabung, menyisihkan uang sedikit demi sedikit sambil bermimpi untuk membeli rumah. Namun ada saja kejadian yang membuat kami harus menguras tabungan.
Sampai sampai orang tua saya dan ibu mertua merasa kasihan dan menawari untuk tinggal di rumah beliau. Menurut mereka, lebih baik uang di tabung daripada buat bayar kontrakan. Namun kami berdua menolak tawaran tersebut.
Ada beberapa alasan kami menolak tawaran beliau berdua. Yang pertama kami masih merasa mampu untuk mandiri.
Kedua, kami yakin akan mampu membeli rumah meskipun tidak tahu itu kapan
Dan yang ke tiga rumah kedua orang tua kami jauh dengan tempat kerja pak suami.
Untunglah kedua orang kami mau mengerti. Dan penolakan kami tidak menimbulkan permasalahan yang berarti.
Kebahagiaan sederhana saat masih di rumah kontrakan
Seiring dengan berjalannya waktu, anak anak semakin besar dan mulai bersekolah. Keinginan untuk memiliki rumah pun semakin dalam, namun apa daya masih belum diberi kemampuan.
Oh ya perlu teman teman ketahui, saya dan pak suami sama sama anak tengah yang masa kecilnya haus perhatian
Kami juga sama sama keras kepala dan susah kalau disuruh mengalah duluan. Persoalan sepele pun kadang jadi masalah, walaupun akhirnya juga dilupakan begitu saja.
Untunglah pak Suami dan saya meskipun sering eyel eyelan tapi kami berdua sama sama easy going dan gampang lupa kalo habis bertengkar. Pak suami pun orangnya humoris, jadi sering saya marah tapi dibuat tertawa. Begitulah kami menjalani hari hari kami di rumah kontrakan yang selalu naik setiap tahunnya.
Ketika ada rejeki sedikit yang sempat terkumpul, kami gunakan untuk membeli sebidang tanah. Karena untuk membeli sebuah rumah, uangnya jauh dari kata cukup. Letak tanah itu sendiri di dalam gang dan masih masuk lagi ke dalam gang yang lebih kecil. Tanahnya pun tidak rata karena ada galian yang cukup dalam, bekas membuat batu bata. Mungkin karena itu harganya jadi agak miring.
Sampai suatu saat, entah dapat ilham darimana. Pak suami mengajak saya untuk jadi orang yang lebih sabar, saling menghargai. Sebisa mungkin menghindari pertengkaran walau masalah sekecil apapun.
Saya pun bingung, karena merasa eyel eyelan yang terjadi setiap hari itu adalah hal biasa. Toh tidak jadi masalah setelahnya.
Pak suami meyakinkan untuk nurut aja, enggak usah protes. Katanya ini adalah ikhtiar agar kami bisa membeli rumah sendiri. Dalam hati saya sih heran, tapi enggak ada salahnya untuk menurut. Toh enggak ada ruginya juga.
Akhirnya mulailah sejak saat itu kami berdua belajar untuk menahan diri. Saat berbincang bincang, kami memilih kata kata yang lebih enak di dengar. Kalaupun ada yang tidak cocok dibicarakan dengan baik baik, tidak ada kata nyolot dan sebangsanya.
Kalau di pikir pikir hampir sama seperti kejadian orang tuanya Duk Seon di Reply 1988. Saat kedua orang tuanya saling berbicara sopan satu sama lain. Saya ketawa saja waktu melihat episode itu karena teringat pengalaman sendiri. Tapi yang saya lakukan diniatkan dalam hati agar segera bisa beli rumah sendiri.
Memang sih semenjak membuat perjanjian untuk lebih sabar itu, suasana rumah jadi lebih nyaman. Semakin banyak senyum di rumah. Terasa lebih bahagia walaupun hidup sederhana.
Sampai suatu hari, pak suami membawa kabar bahwa salah seorang temannya ada yang menjual rumahnya. Si penjual tersebut butuh uang segera. Sedangkan kami, belum ada tabungan lagi semenjak membeli tanah.
Meskipun belum pegang uang sama sekali, pak Suami dengan pedenya melihat kondisi rumah. Dan beliau pun mengajak saya untuk melihatnya juga. Sayapun merasa cocok, alasannya sepele, karena rumah tersebut ada pagarnya. Maklum, waktu itu anak anak masih TK, PAUD dan yang bungsu belum sekolah. Menurut saya di lingkungan yang baru lebih aman kalau rumah ada pagarnya yang bisa dikunci, agar anak saya yang doyan lari lari itu mudah untuk diawasi. Mereka harus izin dulu kalau mau keluar rumah. Saya pun lebih tenang membiarkan mereka main di depan saat saya sibuk dengan pekerjaan rumah.
Saya pun tak masalah meskipun rumah tersebut adalah bangunan tua, model lama tapi masih layak untuk di huni.
Kami pun berhitung, andaikan tanah terjual, uangnya jauh dari cukup untuk membeli rumah tersebut. Apalagi pemilik rumah tersebut butuh uang segera.
Tanah yang kami miliki, dengan kondisi yang demikian tentu akan lama untuk laku. Tapi keinginan untuk memiliki rumah sungguh semakin dalam.
Saya tidak tahu prosesnya bagaimana, pemilik rumah tersebut tiba tiba mau tukar tambah dengan tanah yang kami miliki.
Sebuah solusi, pikir kami berdua. Tapi kekurangan uangnya juga masih banyak. Akhirnya disepakati untuk menitipkan sertifikat rumah di bank, dan kami yang mencicilnya. Dengan demikian kekurangan pembelian rumah bisa tertutupi.
Dan akhirnya berbekal uang pinjaman dari orang tua untuk memberi tanda jadi, dan disertai perjanjian hitam diatas putih yang kuat di mata hukum, perlahan lahan rumah menjadi milik kami sepenuhnya. Dan setelah sekian tahun, sertifikat sudah kembali ke rumah dengan perjuangan yang lumayan berat. Namun dengan senyuman dan tekad kami melewatinya bersama.
Foto diambil sesaat setelah pindah ke rumah kami yang sederhana
Begitulah keinginan kami untuk memiliki rumah di awali dengan cara yang sangat sederhana. Dengan berani lebih baik, melalui belajar sabar, rukun dan saling menghargai.
Ada satu kejadian yang sulit dilupakan saat itu. Di saat kami tengah berjuang untuk memiliki rumah, tiba tiba terjadi musibah.
Motor, kendaraan yang biasa digunakan oleh pak suami untuk bekerja tiba tiba hilang. Padahal motor itu satu satunya kendaraan bermotor yang kami miliki.
Sebelum memiliki kendaraan yang baru, pak suami pun berangkat kerja menggunakan sepeda ontel.
Agar tak terlalu kentara, saat berangkat kerja memakai kaos, celana panjang dan sandal jepit. Sedangkan kemeja dan sepatu dimasukkan tas ransel.
Saya msih ingat betul, saat itu anak sulung kami, pertama kali masuk sekolah. Situasi tidak memungkinkan untuk mengantarkan sendiri anak ke sekolah. Akhirnya si kecil di titipkan ke Pak Min, tukang becak langganan.
Saat masuk pertama kali ke sekolah, saya pun tidak mengantarnya karena ada adiknya yang masih bayi. Saya meminta pak Suami untuk mengintipnya saat di sekolah. Dengan naik sepeda ontel, pak Suami menuju ke sekolah untuk melihat bagaimana anak saya di hari pertamanya sekolah. Tentu saja tanpa diketahui oleh anak saya.
Alhamdulillah, anak saya baik baik saja meskipun hari pertama sekolahnya tidak diantar oleh orang tua. Saya bersyukur sekali, di situasi yang seperti itu semua berjalan dengan baik baik saja. Allah memang maha baik.
Kembali ke masalah sepeda motor yang hilang. Saat itu kami tidak memiliki asuransi kendaraan bermotor. Begitu hilang ya sudah, tidak ada bekasnya lagi.
Teman teman ada baiknya belajar dari pengalaman kami. Tidak ada salahnya menggunakan jasa asuransi untuk melindungi aset kita. Apalagi zaman sekarang sudah ada asuransi yang berbasis syariah, seperti yang ada di Tugu asuransi.
Ada berbagai produk asuransi syariah yang ditawarkan oleh Tugu Insurance seperti Asuransi gangguan usaha, kebongkaran, uang, pengangkutan baik darat laut maupun udara. Asuransi tanggung gugat, rekayasa yang terdiri dari konstruksi, pemasangan mesin dan kerusakan elektronik. Asuransi alat berat, Kecelakaan saat umroh dan haji serta asuransi kendaraan bermotor.
Tugu Asuransi sendiri sudah berdiri sejak 25 November 1981, sudah 39 tahun malang melintang di kancah asuransi tanah air. Ada 3 produk utama dari asuransi ini yaitu korporasi, retail dan syariah. Terhitung semenjak tahun 2018 kemarin, Tugu Insurance sudah mendapatkan pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan untuk membuka Penawaran Umum Perdana Saham ke masyarakat.
Begitulah, selalu ada hikmah dibalik musibah. Begitu juga dengan kami, setelah terjadi musibah tersebut. Kami jadi lebih sabar dan sadar bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi atas kehendakNya.
Dan perjalanan kami membuktikan bahwa berani lebih baik ternyata dapat mewujudkan apa yang menjadi cita cita bersama.
Dengan kebersamaan, masalah jadi lebih ringan, bisa saling mengisi untuk menemukan solusi. Dan tentunya tetap semangat dalam menjalani hidup. Teman teman ada yang memiliki pengalaman serupa? Mari saling berbagi.
29 comments
Asuransi ini memang penting banget ya, disaat kita butuh banget nggak repot buat cari pinjaman sana-sini
BalasHapusIya mbak, kudu pinter milih milihnya juga
HapusKalau asuransi jadi keingetan mobil saya. Entah kenapa mobil itu sering banget ditabrak orang. Terakhir saya ditabrak bis dari belakang pada saat kondisi berhenti. Untungnya mobil itu ada asuransi, jadi meski sering tertabrak masih ada cover untuk perbaikan.
BalasHapusNah, ngerasain banget ya manfaat asuransi kendaraan..
HapusPerjuangan setiap keluarga beda-beda ya, Mbak. Tapi yang sudah pasti, belajar untuk lebih baik dan saling menghargai, tentu untuk kebaikan bersama.
BalasHapusSaya jadi kepikiran juga nih, harus nabung agar punya rumah sendiri.
Semangat mbak, setiap keluarga punya ceritanya sendiri. Yang penting usaha dan doa..
HapusDuh...aku terharu baca perjuangan Mbak sekeluarga untuk mendapatkan rumah. Memang ya selalu ada jalan sih. Soal asuransi aku sepakat sebagai perlindungan ya. Tapi aku pilih-pilih sih dan harus dibaca banget persyaratannya.
BalasHapusYang penting yakin kalau kita akan diberi yang terbaik menurutNya.. Iya mbak, teliti itu penting
HapusKata-katanya nih kalau misalkan pasangan suami istri habis bertengkar dan marahan gitu ntar waktu baikannya bakalan jadi lebih romantis wkwkwkkwwk, bener gak ya bund? BTW Tugu Insurance ini boleh banget dicoba sebagai asuransi untuk jaga-jaga jika suatu saat terjadi hal-hal diluar dugaan kita. Terlebih lagi si Tugu Insurance ini sudah ada produk syariahnya, pasti jadi lebih halal hihihi.
BalasHapusBener banget kalo itu hehehe... Sering banget ngalamin soalnya...
HapusMasya Allah perjuangannya .... Pastinya jadi bekal dan pelajaran buat masa depan yang lebih baik ya.
BalasHapusIya mbak, sekarang kalo lagi ribut suka menginhat ingat pengalamn yang itu..
HapusBener kata quote-quote diluaran sana ya mbak. Bahagia itu sederhana. Sesimple kita menyiapkan dana asuransi untuk kebutuhan dimasa depan kita :)
BalasHapusIya mbak, yang penting tetap sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi kita..
Hapusinspiratif mbak, sabar adalah kunci ya mbak
BalasHapusdan memang asuransi itu penting ya mbak, ibarat sedia payung sebelum hujan
Iya mbak, sabar itu besar manfaatnya..
HapusKalau aset yang kita miliki bisa diasuransikan memang lebih baik begitu, agar lebih terjaga dan memiliki proteksi untuk masa depan lebih baik
BalasHapusIya, jadi lebih tenang juga
HapusSegala sesuatunya memang harus saling menghargai, cinta dan pengertian. Semua cobaan pasti akan terlewati meski penuh perjuangan.
BalasHapusIya mbak, semuanya dihadapi bersama..
HapusMengharukan sekali mba Retno, penuh perjuangan. saya sendiri masih kontraktor hahah . Mungkin saya akan belajar lebih sopan sama. Suami, agar cepet daoat momongan, eh bisa cepet beli rumah hihi...
BalasHapusSemoga diberi kemudahan. Pasti ada jalan hehehe. Yuk nambah lagi biar tambah rame..
HapusAsuransi itu pilihan. Karena ada dua pendapat yang pro dan kontra...nah diperlukan ilmu untuk akhirnya memutuskan ikut asuransi atau tidak
BalasHapusIya mbak disesuaikan sama keyakinan kita aja
HapusSemakin kesini, kebutuhan akan asuransi semakin penting apalagi kita tidak tau apa yang akan terjadi di masa depan aku juga ikutin asuransi pendidikan buat anakku...semangat mbak insyaallah akan ada buah yang nikmat atas kesabaran...
BalasHapusIya mbak, semangat...
HapusWow..udah 39 tahun. Insya Allah, Tugu Insurance ini berkualitas baik yaa mbak. Udah berpengalaman banget tuh kalau dilihat dari usianya.
BalasHapusahh, aku jadi berkaca dengan diriku dan suami, mbak. Aku keras, tapi ga humoris. Kalau ada apa2, suami yg kadang lebih dulu menghibur dg humornya. Selagi bisa diselesaikan dengan sederhana, mengapa perlu dibuat rumit ya mbak. Pembelajaran buat aku dan suami untuk melangkah di pernikahan kami menginjak dua tahun akhir tahun 2021 nanti.
BalasHapusLanggeng selalu ya Mbak Retno dan Suami,
ahh, aku jadi berkaca dengan diriku dan suami, mbak. Aku keras, tapi ga humoris. Kalau ada apa2, suami yg kadang lebih dulu menghibur dg humornya. Selagi bisa diselesaikan dengan sederhana, mengapa perlu dibuat rumit ya mbak. Pembelajaran buat aku dan suami untuk melangkah di pernikahan kami menginjak dua tahun akhir tahun 2021 nanti.
BalasHapusLanggeng selalu ya Mbak Retno dan Suami,