Konten [Tampil]
Cerita ini sudah lama terjadi, tapi kalau diingat-ingat jadi merasa beruntung telah di anugerahi sifat keras kepala hehehe. Enggak enaknya sifat keras kepala saya ini ada saingannya di rumah, yaitu bapaknya anak anak. Herannya meskipun sama-sama keras kepala, kami seakan punya alarm sendiri kapan saatnya mengalah saat sedang adu pendapat. Selama ini tanpa kami sadari ternyata kami saling bergantian untuk "diam" saat sedang adu pendapat. Diam bukan berarti selalu setuju, tapi terkadang hanya menunda waktu yang tepat untuk adu pendapat lagi wkwkwk. Sampai akhirnya salah satu benar-benar mengalah setelah mendengar alasan yang lebih masuk akal.
Sifat keras kepala yang saya miliki ini tidak hanya muncul di depan suami, namun juga di depan orang lain. Meskipun dalam prakteknya terlihat lebih halus, tapi sebenarnya tetep saja ngeyel, hanya saja dengan cara yang lebih smooth. (Langsung nyanyi "karna ku seloww...tetap seloowwww")
Kembali ke cerita yang ingin saya sampaikan di awal. Dulu, waktu masih ngontrak di perumahan, seperti biasa ada sales yang menawarkan dagangan. Saat itu sales yang datang menawarkan kompor dan tabung blue gas. Saat itu pemerintah baru saja mensosialisasikan tabung melon 3 kg. Kebetulan saat itu saya sudah punya tabung LPG dan kompornya sekalian. Namun minyak tanah sudah langka dan harganya mahal. Saat itu juga masih sering terdengar berita tabung gas meledak yang menimbulkan banyak kerugian.
Waktu itu ada 8 ibu-ibu yang berkumpul di salah satu rumah tetangga. Mulailah si Bapak sales menceritakan berbagai keunggulan si blue gas itu. Memang sih menurut fakta, blue gas itu lebih aman daripada LPG. Karena begitu terlepas ke udara, blue gas tersebut lebih cepat terurai sehingga resiko terbakar jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan gas LPG.
Ibu-ibu yang datang saat itu emang mayoritas belum bisa memasang gas sendiri di rumah, begitu mendengar pemaparan si Bapak sales langsung tertarik. Semua langsung mendaftar untuk membeli, hanya saya yang tidak mendaftar. Si Bapak mulai mengeluarkan jurus rayuannya agar saya ikut membeli. Mulai dari memaparkan kembali manfaat si blue gas, menyebutkan bahayanya gas LPG dan tak lupa menyebutkan kalau ibu-ibu lain sudah daftar jadi pembeli, cuma saya saja yang enggak. Beliau berharap saya jadi malu atau gimana sehingga ikut membeli juga. Namun saya tetap tak bergeming. Saya beralasan, kalau sudah punya tabung gas LPG dan uangnya mendingan buat beli susu anak. Sebagai orang yang keras kepala, sekali enggak juga tetap enggak. hehehe
Si Bapak emosi menghadapi saya, sampai sampai keringatnya bermunculan. Untunglah si Bapak bawa sapu tangan sendiri, jadi saya tidak perlu memberi tisu pada beliau. Saking emosinya si Bapak bicara sambil setengah membentak, sebenarnya saya kaget juga waktu mendengar nada bicara si Bapak itu. Untunglah saya tetap tenang dan tetap mengatakan tidak. Tetep yaaa...
Mungkin si Bapak memang lagi di kejar target penjualan, tapi nggak harus sampai bentak bentak calon konsumen juga dong. Untung saya orangnya (agak) sabar. meskipun di bentak-nbentak tetap slow aja tapi ya enggak beli juga.
Sebenarnya saat itu harganya enggak terlalu mahal dan bisa di cicil sampai berapa bulan. Tapi yang namanya enggkl butuh buat apa juga. Mending untuk beli barang yang benar-benar kita butuhkan. Tapi saat itu emang lagi gak banyak duit sih. Anak-anak lagi doyan-doyannya minum susu dan lagi sering-seringnya ganti diapers, jadi untuk membeli barang yang tidak mendesak saya kudu berpikir panjang. Jadi kalau di bilang lagi gak punya uang, iya juga sih wkwkwkwk.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, mulai terdengar desas desus. Ada yang kompornya nganggur dan ada yang mengeluh harga gasnya mahal. Saya cuma diam dan mendengarkan saja, sambil sesekali tersenyum dan membatin "Untung saya tak ikutan beli" hehehe.
Beberapa bulan berikutnya, setelah cicilan kompor dan tabung tersebut sudah lunas. Kembali saya ada kesempatan berkumpul dengan ibu-ibu tetangga. Diantara mereka ada yang bilang "Bener sampeyan mbak, aku menyesal sudah ikutan nyicil kompor itu. Ternyata sampe sekarang, komporku nganggur di atas lemari". "Nah lo", pikir saya. Dan bahkan ternyata sudah ada yang menjual tabungnya kembali, padahal belum dipakai sama sekali.
Sejak kejadian itu, saya selalu berpikir bahwa enggak ada untungnya membeli barang karena ikut-ikutan atau gengsi. Pada akhirnya kita sendiri yang rugi telah buang-buang uang untuk hal yang tidak berguna.
Hidup bertetangga memang ngeri-ngeri sedap benar atau salah tetap jadi omongan. Saya pun yakin pada kejadian di atas pun ada yang ngomongin saya di belakang. Tapi nyatanya saya tetap baik-baik saja. Kejadian di atas juga mengajarkan saya, jika akan membeli barang kudu bertanya pada diri sendiri niat apa yang mendasari saya untuk membeli barang tersebut. Kalau cuma gengsi atau iri melihat orang lain yang memiliki barang serupa, mending dialihkan untuk membeli barang lain yang lebih dibutuhkan. Intinya tetep saja beli #eh. Enggak juga sih, kalau tujuannya enggak jelas, mending ditunda dulu. Siapa tahu nanti atau besok nemu alasan yang lebih tepat untuk beli. Aduuh, kenapa intinya beli barang semua yak? wkwkwk pokoknya sesuai kebutuhan lah, kalau enggak butuh butuh amat, mending gak usah beli. Kalau masih kepikiran juga coba deh beli bakso atau rujak yang pedes, siapa tau pikiran jadi teralihkan (tetep aja beliii... biarpun cuma rujak atau bakso wkwkwk).
Memang agak susah yes menjadi diri sendiri apalagi di zaman media sosial gini. Yang penting tetap yakin kalau semuanya akan baik baik saja, insyaallah kita enggak akan mudah terpengaruh dan tetap bahagia menjadi diri sendiri. Semoga saya sendiri juga tetap keras kepala untuk yang beginian hehehe.