Konten [Tampil]
Kalau mengingat masa kecil… wah
takkan habis waktu untuk bercerita. Maklumlah saya tinggal di sebuah desa di
Kabupaten Malang yang jaraknya lebih dari 40 km dari kota Malang. Kalau sekarang,
jarak 40 km mah kecil …palingan sejam udah nyampek. Tapi kalau dulu, setengah
hari baru nyampek. Karena jalannya belum semulus sekarang, jalan macadam yang
batunya segede-gede kepala, medannya pun naik turun dan berkelok kelok. Persis dah
sama lagunya Kacung Kampret.
Karena saking ndesonya itulah,
pada waktu saya masih kecil belum ada listrik, dan memasak masih pakai tungku. Kalau
dirumah sih Alhamdulillah Ibu sudah punya kompor minyak tanah yang bisa
digunakan saat darurat.
Yang namanya belum ada listrik,
lampu pun masih pakai petromak dan lampu teplok. Jadi jangan heran kalau bangun
pagi lubang hidung pada item semua. Alhamdulillahnya
lagi, meskipun belum ada listrik tapi bapak mempunyai sebuah TV hitam putih
yang nyalainnya pakai tenaga ACCU.
Jadi teringat, dulu tetangga yang
notabene masih saudara (maklumlah tinggal di desa, orang sekampung saudara
semua) ikut menonton TV di rumah. Ada yang bawa bantal, ada yang bawa selimut. Maklumlah
satu keluarga nonton semua, kalau ngantuk tinggal tidur aja. Ntar kalau acara
TV udah habis tinggal dibangunin terus pulang deh.
Yang lebih seru kalau ada
pertandingan tinju Mike Tyson. Yang nonton lebih banyak lagi, sampai TV
digotong ke teras. Bahkan penjual bakso langganan, jualan di depan rumah. Baksonya
jadi langganan karena emang cuma beliau satu-satunya yang jual hihihihi.
Karena belum ada listrik, maka
saat-saat yang dinanti adalah bulan purnama. Karena selepas mengaji, kami masih
diijinkan bermain di luar, yaitu di halaman rumah nenek yang luas. Kebetulan rumah
nenek tepat di sebelah rumah. Saya pun ikut bermain bersama sepupu-sepupu yang
banyak jumlahnya.
Semua pun ikut bermain dari yang
belum sekolah sampai yang sudah remaja. Biasanya yang paling kecil juga ikut
tapi jadi pupuk bawang alias tidak diperhitungkan. Permainan yang sering kami
lakukan adalah Tekongan. Tekongan yaitu sejenis permainan petak umpet. Masing-
masing peserta membawa geco . yang sering digunakan untuk geco adalah pecahan
genting.
Adapun aturan permainannya adalah
salah satu peserta membut garis. Lalu semua peserta melempar geco ke arah garis
tersebut. Geco yang paling jauh dari garis akan jadi penjaga. Kalau petak umpet
jaman sekarang waktu untuk sembunyi adalah berdasarkan penyebutan angka sampai
sepuluh atau dua puluh. Tapi kalau tekongan, waktu yang diberikan untuk mencari
persembunyian adalah lamanya menumpuk pecahan genteng. Kalau susunan
geco/pecahan genteng itu rubuh maka penjaga harus menyusunnya lagi. Maka waktu
untuk mencari tempat persembunyian pun semakin panjang.
Apabila ada peserta lain yang ketahuan
tempat persembunyiannya, maka penjaga dan peserta tersebut harus rebutan untuk
merobohkan susunan genteng tersebut. Yang lebih dulu merobohkan (biasanya
dengan menendang susunan genteng) maka dia menang. Dan yang kalah akan jadi
penjaga. Begitu seterusnya.
Anak-anakku senang sekali main
petak umpet, tapi mereka menyebutnya tekongan juga. Biasanya mereka main
tekongan di dalam rumah kalau diluar sedang hujan, atau ketika mereka tidak boleh main di luar sama
emaknya. Karena bersaudara cuma bertiga, maka emaknya lah yang didaulat jadi
pemain tambahan. Duh… lumayan juga itung-itung olah raga.
Selain main tekongan, dulu saya
sering main congklak, hanya saja saya menyebutnya dakon. Tidak usah beli papan
dan biji congklaknya. Cukup dengan menggambar kotak-kotak di lantai. Sedangkan biji
congklaknya adalah kerikil yang ada di halaman. Pernah suatu hari saya hendak
bermain congklak bersama sepupu saya. Kamipun mencari kerikil di depan rumah. Satu
persatu saya mengambil kerikil di tanah. Tiba-tiba saya memegang kerikil yang
lunak. Setelah saya cium baunya, ternyata itu adalah kotoran ayam saudaraa. Bentuk
dan warnanya mirip sekali dengan kerikil …hiks.
Saya pun mengajarkan permainan
congklak ini pada anak-anak. Alhamdulillah, permainan ini cukup mengalihkan
perhatian mereka, sehingga tidak mengajak emaknya main tekongan lagi.
Selain dua permainan di atas ada
lagi permainan yang sering saya lakukan. Yaitu pel-pelan atau kejar-kejaran. Kalau
biasanya anak-anak lain main kejar-kejaran di halaman, saya dan sepupu-sepupu
saya main kejar-kejaran di atas pohon (saya udah tomboy dari lahir, jadi... harap maklum). Kebetulan bapak dulu memiliki kebun
cengkeh yang pohonnya cukup tua. Sehingga jarak antar pohon itu begitu dekat. Kami
dapat berpindah dari satu pohon ke pohon lain tanpa menginjak tanah.
Aturan mainnya adalah yang jadi
pengejar harus bisa mengejar dan menangkap pemain lainnya. Yang tertangkap jadi
pengejar. Tapi apabila ada pemain lain jatuh dan menginjak tanah, maka dia yang
jadi pengejar.
Ssssttt permainan ini belum
pernah saya ceritakan ke anak-anak. Cukuplah ada di jaman saya aja heheheh. Suka
mules perut saya kalau lihat anak-anak naik pohon.
Masih banyak permainan yang dulu
saya lakukan, tapi tidak mungkin saya menuliskannya semua disini. Yang selalu
saya rasakan ketika mengingat masa kecil adalah perasaan yang meledak-ledak. Mungkin
karena masa kecil saya yang menyenangkan yang jadi penyebabnya. Bayangkan, berlarian
di sawah dan mengusir burung-burung yang makan padi. Naik bukit lalu lari terbirit-birit
karena bertemu ular. Hehehehehe...
Saya bersyukur sekali telah
merasakan itu semua dan terima kasih tak terhingga untuk Bapak dan Ibu yang
telah memberikan kesempatan, sehingga saya bisa merasakan masa kecil yang
menyenangkan.
Terima kasih juga kepada Mama Calvin dan Bunda Salfa yang mengingatkan saya pada memori yang indah ini.
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh mama Calvin dan Bunda Salfa"
source gambar congklak :azdindeviantart.com
0 comments